Reading Time: 3 minutesApa-apa dipamerkan. Tanpa sadar “menelanjangi” dirinya sendiri.
Social media bermanfaat. Tapi juga sepaket dengan sisi gelapnya, termasuk mempengaruhi kesehatan mental. Ini 6 hal yang perlu diperhatikan agar kesehatan mental tetap terjaga…
Beberapa buku tentang pengaruh social media terhadap kesehatan mental.

Buku apa lagi ya yang membahas hal serupa?
Pernah dibahas juga di Ngaji Filsafatnya Pak Fahruddin Faiz. Masa sekarang itu masa realita berbasis social media. Dulu untuk mengalami sesuatu ya mesti mengalaminya secara nyata. Sekarang kita merasa mengalami sesuatu hanya dengan mengonsumsi konten di social media.
6 hal yg perlu diperhatikan…
1. “Menelanjangi” diri sendiri
Secukupnya pamer sih wajar. Tapi kalau berlebihan memamerkan, oversharing, dikit-dikit post, banyak orang jadi tau hal personal mengenai diri kita. Makin diumbar ranah privat, makin berpotensi bikin mental enggak sehat. Kamu kok tau tanggal lahirku? Tau aku lebih suka es teh daripada es jeruk? Lha kan kamu share di social media, fergusooo…
2. Dangkal
Lebih mementingkan citra diri (citra diri sendiri & citra orang lain), tampilan di social media yang dangkal, daripada diri secara nyata yang mendalam. Cuma tau dari WA group, twitter, reels, tiktok, udah merasa paling tau. Padahal yang diketahui baru dangkal Kita jadi terbiasa mengucapkan maaf, belasungkawa atau memberi selamat apapun via WA. Itu pun copy paste.
3. Kegemukan informasi
Dulu masalahnya, kurang informasi. Sekarang, kebanyakan informasi. Jadi bingung. Kelelahan untuk memahami. Gampang terdistraksi ke hal-hal yang enggak penting. Misal: Tau informasi tentang pemenang Oscar. Lalu, jadi pingin tau: Kondisi rumah tangganya gimana? Makanan kesukaannya apa? Mantannya siapa aja? Dan sebagainya. Untuk menyeimbangkan, perlu filter: “Emangnya penting ya tau itu?”
4. Bising

Karena tiap orang bisa bersuara di social media. Kamu punya social media berapa? Twitter, IG, TikTok, Youtube? WA group, telegram group, discord berapa? Berapa banyak informasi yang benar-benar penting & kita butuhkan? Karena bingung & kelelahan, jadinya lebih suka yang superficial daripada esensial.
5. Ngawur
Karena yang kita tau di social media sifatnya dangkal, tapi kita sudah merasa paling tau, kita jadi berpotensi sok tau, ngawur. Menanggapi sesuatu merasa lebih jago dari pakarnya. Padahal ya cuma sarjana WA group, atau lulusan universitas tiktok. Maka disebut era matinya kepakaran.

6. Ngeyel
Akibat kegemukan informasi, bising, dangkal, maka kita kelelahan & bingung. Kita bukan berdasar benar-benar TAU, tapi sebatas YAKIN benar. Lahirlah PERADABAN NGEYELAN. Makin ngeyel karena merasa apa yang kita yakini benar didukung oleh yang kita temui di social media. Terjebak dalam: Filter bubble. Seperti yang dibahas di film dokumenter: The Social Dilemma.

Tidak perlu terus anti social media, atau memusuhi social media. Social media itu bermanfaat kok. Tapi ya kita perlu sadar, di hidup ini senantiasa sepaket. Seperti pagi-malam, bertemu-berpisah, positif-negatif. Social media juga sepaket dengan sisi gelapnya. Kita perlu hati-hati, be mindful.
Kalau menurutmu gimana?
Semoga kita semua bisa menerima kenyataan seapaadanya ya. Selamat hidup sadar.
Reading Time: 2 minutesSalah satu pondasi relasi yang sehat (orang tua-anak, dengan pasangan, pertemanan, dalam dunia kerja), agar terhindar dari toxic relationship adalah komunikasi yang baik. Tapi zaman sekarang, makin berlebihan informasi masuk di pikiran, bikin komunikasi lebih rumit. Ini salah satu tips mengatasinya…
Masalah komunikasi ini sedang dialami banyak orang. Tapi seringkali kita baru merasakan adanya masalah, ketika masalah itu udah bener-bener bikin hidup kita jadi enggak nyaman lagi.
Perubahan dalam menjalani hidup sehari-hari, terkait teknologi, internet, social media, secara otomatis juga menuntut perubahan dalam cara berelasi & komunikasi. Di satu sisi, perubahan itu tidak bisa dihindari. Di sisi lain, perubahan itu bikin persoalan relasi & komunikasi jadi lebih rumit.
Contoh: Dulu kalau berdua merencanakan sesuatu, maka beneran bakal dilakukan. Sekarang, meski merencanakan lebih rinci, tapi pas melakukan cenderung berantakan. Karena saat merencanakan bilang setuju, tapi pas tahap melakukan, sesuai dengan keinginan masing-masing.
Contoh lagi: Dulu ngobrol bareng itu mudah dilakukan. Sekarang, meski udah tau komunikasi itu penting, tapi tetap aja bener-bener ngobrol sepenuh hati sulit dilakukan.
Contoh lain hubungan orang tua-anak: Dulu orang tua makin mengawasi anaknya, maka anak makin kecil kemungkinannya melakukan hal yang aneh-aneh. Sekarang, makin diawasi, bukan makin berkurang kemungkinan melakukan hal yang aneh-aneh, tapi keadaan malah makin rumit.
Nah tips dasarnya: Satu pihak merasa paling tau, paling jadi orang penting dalam relasi, lalu sibuk ngasih tau, menggurui, menasihati, menyuruh, seperti cara komunikasi zaman dulu, sekarang ini udah semakin enggak bisa digunakan.
Tantangannya, sekarang setiap orang (orang tua, anak, pasangan, teman, rekan kerja) di kepalanya begitu sesak dengan asumsinya sendiri-sendiri, yang enggak mudah menerima pendapat, saran, pernyataan yang berbeda. Tiap orang punya versi kebenarannya sendiri.
Memaksa berlebihan menggunakan cara komunikasi zaman dulu, yaitu cuma sibuk ngasih tau, memberi pernyataan, pernyataan dan pernyataan, hanya akan memperumit relasi.
Oleh karena itu, tips mengatasinya bukan dengan terus memberi pernyataan, tapi merawat relasi dengan pertanyaan. Kerendahhatian untuk bertanya untuk saling memahami jadi skill penting.
Sayangnya, banyak orang yang begitu besar egonya. Sehingga enggak sadar diri bahwa dirinya enggak tau, malah merasa paling tau. Jadi sulit sekali untuk bertanya, takut mendengarkan pendapat yang berbeda.
Padahal, bertanya itu punya kekuatan yang jauh lebih besar dari sekadar mendengar isi kepala orang lain. Dengan bertanya, kita bisa merawat relasi tanpa menguasai, tanpa ada upaya memaksa dan minim tubrukan energi, jadi hemat tenaga.
Contoh: Dalam relasi, tiap kali kita ngasih tau sesuatu, lalu orang itu tidak setuju atau punya pendapat yang berbeda, sikap kita cenderung tidak tepat kalau kita menanggapinya dengan pernyataan. Kenapa? Karena dengan terus memberi pernyataan, kita sedang membenturkan asumsi bertentangan yang bisa menimbulkan jarak dan konflik. Bisa berakibat merusak relasi.
Beda kalau kita menanggapinya dengan pertanyaan: “Menarik juga pendapatmu… Itu yang kamu maksud gimana?” Dengan memberi dia ruang untuk menjelaskannya, kita sedang membuka diri untuk menerima pendapat yang berbeda. Kalau masih terlalu jauh untuk muncul titik temu, bisa tanya lagi: “Sorry, maksudmu tentang bagian… gimana…?” Dengan bertanya, kita secara ramah menciptakan suasana untuk tetap menjaga kedekatan relasi.
Kita perlu ingat, tujuan utama relasi bukan gimana agar orang lain selalu tunduk nurut sama kita. Relasi itu yang terpenting soal gimana ngobrol, tanya, ngasih ruang buat nerima pendapat yang berbeda. Bukan nuruti kemauan sendiri, tapi soal kesepakatan berdua.
Kalau menurutmu gimana?
Semoga kita semua bisa menerima kenyataan seapaadanya ya. Selamat hidup sadar.